UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
Dengan Persetujuan
Bersama
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
danPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) yang telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang:
- Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3459);
- Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3567);
- Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
diubah sebagai berikut:
- Ketentuan Pasal 1 substansi tetap dan Penjelasannya diubah sehingga rumusan Penjelasan Pasal 1 adalah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal demi Pasal Angka 1 Undang-Undang ini.
- Ketentuan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (5) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) | Yang
menjadi subjek pajak adalah:
|
||||||
(1a) | Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. | ||||||
(2) | Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. | ||||||
(3) | Subjek
pajak dalam negeri adalah:
|
||||||
(4) | Subjek
pajak luar negeri adalah:
|
||||||
(5) | Bentuk
usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
|
||||||
(6) | Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. |
- Ketentuan Pasal 3 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yakni
ayat (2) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
(1) | Yang
tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
|
(2) | Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf h, huruf l, dan Penjelasan huruf k diubah dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf q sampai dengan huruf s, ayat (2) diubah, ayat (3) huruf a, huruf d, huruf f, huruf i, dan huruf k diubah, huruf j dihapus, dan ditambah 3 (tiga) huruf, yakni huruf l, huruf m, dan huruf n sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) | Yang
menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penghasilan
di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah:
|
- Ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, dan huruf h diubah dan ditambah 5 (lima) huruf, yakni huruf i sampai dengan huruf m, serta ayat (2) diubah sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 6
(1) | Besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
|
(2) | Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. |
(3) | Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. |
- Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) | Penghasilan
Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
|
(2) | Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. |
(3) | Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. |
- Ketentuan Pasal 8 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Penjelasan ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) | Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya. |
(2) | Penghasilan
suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila:
|
(3) | Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka. |
(4) | Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang tuanya. |
- Ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf e, dan huruf g serta Penjelasan huruf f diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) | Untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
|
(2) | Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A. |
- Ketentuan Pasal 11 ayat (7) dan ayat (11) serta Penjelasan ayat (1) sampai dengan ayat (4) diubah sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) | Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. | ||||||||||||||
(2) | Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas. | ||||||||||||||
(3) | Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. | ||||||||||||||
(4) | Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. | ||||||||||||||
(5) | Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut. | ||||||||||||||
(6) | Untuk
menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud
ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. | ||||||||||||||
(8) | Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut. | ||||||||||||||
(9) | Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. | ||||||||||||||
(10) | Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. | ||||||||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 11A ayat (1) dan Penjelasan ayat (5) diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11A
(1) | Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan syarat dilakukan secara taat asas. | ||||||||||
(1a) | Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(2) | Untuk
menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan
sebagai berikut:
|
||||||||||
(3) | Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). | ||||||||||
(4) | Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. | ||||||||||
(5) | Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua puluh persen) setahun. | ||||||||||
(6) | Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). | ||||||||||
(7) | Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut. | ||||||||||
(8) | Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan. |
- Ketentuan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) serta Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) | Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. |
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
(4) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. |
(5) | Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(6) | Dihapus. |
(7) | Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (4) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) | Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. |
(2) | Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). |
(3) | Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan memerhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g. |
(4) | Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan. |
- Ketentuan Pasal 17 ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan Penjelasan ayat (5) sampai dengan ayat (7) diubah serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (2a) sampai dengan ayat (2d) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) | Tarif
pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi:
|
||||||||||
(2) | Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. | ||||||||||
(2a) | Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. | ||||||||||
(2b) | Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. | ||||||||||
(2c) | Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final. | ||||||||||
(2d) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah. | ||||||||||
(3) | Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(4) | Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. | ||||||||||
(5) | Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. | ||||||||||
(6) | Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. | ||||||||||
(7) | Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1). |
- Ketentuan Pasal 18 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan Penjelasan ayat (1) diubah serta di antara ayat (3a) dan ayat (4) disisipkan 4 (empat) ayat, yakni ayat (3b) sampai dengan ayat (3e) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 18
(1) | Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini. |
(2) | Menteri
Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh
Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar
negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. |
(3a) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir. |
(3b) | Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga. |
(3c) | Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. |
(3d) | Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut. |
(3e) | Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b), ayat (3c), dan ayat (3d) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(4) | Hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(3d), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada
apabila:
|
(5) | Dihapus. |
- Ketentuan Pasal 19 ayat (2) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) | Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan karena perkembangan harga. |
(2) | Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1). |
- Ketentuan Pasal 21 ayat (1) sampai dengan ayat (5), dan ayat (8) diubah, serta di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5a) sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 21
(1) | Pemotongan
pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
|
(2) | Tidak termasuk sebagai pemberi kerja yang wajib melakukan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah kantor perwakilan negara asing dan organisasi-organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. |
(3) | Penghasilan pegawai tetap atau pensiunan yang dipotong pajak untuk setiap bulan adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. |
(4) | Penghasilan pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(5) | Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. |
(5a) | Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(6) | Dihapus. |
(7) | Dihapus. |
(8) | Ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) | Menteri
Keuangan dapat menetapkan:
|
(2) | Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(3) | Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. |
- Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) huruf c diubah, ayat (4) huruf d dan huruf g dihapus dan ditambah 1 (satu) huruf, yakni huruf h, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) | Atas
penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan:
|
(1a) | Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(3) | Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan atas:
|
- Ketentuan Pasal 24 ayat (3) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
(1) | Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama. |
(2) | Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. |
(3) | Dalam
menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut:
|
(4) | Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut. |
(5) | Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan. |
(6) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (9) dihapus, serta di antara ayat (8) dan ayat (9) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (8a) sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) | Besarnya
angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
|
(2) | Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. |
(3) | Dihapus. |
(4) | Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak. |
(5) | Dihapus. |
(6) | Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal
tertentu, sebagai berikut:
|
(7) | Menteri
Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
|
(8) | Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
(8a) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. |
(9) | Dihapus. |
- Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) | Atas
penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh
tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh
persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
|
(1a) | Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). |
(2) | Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. |
(2a) | Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. |
(3) | Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(4) | Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
(5) | Pemotongan
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat
(4) bersifat final, kecuali:
|
- Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
Apabila pajak yang
terutang untuk suatu
tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), kekurangan pembayaran pajak yang
terutang harus dilunasi sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan.
- Ketentuan Pasal 31A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31A
(1) | Kepada
Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang
usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas
perpajakan dalam bentuk:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
- Pasal 31B dihapus.
- Ketentuan Pasal 31C ayat (2) dihapus sehingga Pasal 31C berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31C
(1) | Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar. |
(2) | Dihapus. |
- Di antara Pasal 31C dan Pasal 32 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 31D dan Pasal 31E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 31D
Ketentuan mengenai
perpajakan bagi
bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi,
bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha
berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31E
(1) | Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). |
(2) | Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
- Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32
Tata cara pengenaan pajak
dan
sanksi-sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan
sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
- Di antara Pasal 32A dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 32B
Ketentuan mengenai
pengenaan pajak atas
bunga atau diskonto Obligasi Negara yang diperdagangkan di negara lain
berdasarkan perjanjian perlakuan timbal balik dengan negara lain
tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Hal-hal yang belum cukup
diatur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal II
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:- Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2001 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
- Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30 Juni 2009 wajib menghitung pajaknya berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
pada tanggal 23 September 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 133
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN
- UMUM
1. | Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. |
2. | Dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang dipandang perlu untuk dilakukan perubahan Undang-Undang tersebut guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. |
3. | Perubahan
Undang-Undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap
berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal,
yaitu keadilan, kemudahan, dan efisiensi administrasi, serta
peningkatan dan optimalisasi penerimaan negara dengan tetap
mempertahankan sistem self
assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan
penyempurnaan Undang-Undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai
berikut:
|
4. | Dengan
berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut perlu
dilakukan perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan meliputi
pokok-pokok sebagai berikut:
|
- PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Undang-Undang ini mengatur
pengenaan
Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak
tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam
Undang-Undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak
atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam
tahun pajak.
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” dalam Undang-Undang ini adalah tahun kalender, tetapi Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada
di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum
terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak
atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek
pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit
tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya
yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek
pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi
Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang
besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan
dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi
maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima
dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak
adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif
dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP), Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak wajib mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
- Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban
perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak badan dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri
adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.
Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek
pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam
pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut
telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Ayat (5)
Huruf a dan huruf b
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka
orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat
usaha (place of business)
yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan
gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau
agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment)
yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi
elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai
yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Sesuai dengan kelaziman internasional, kantor perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat dan
pejabat-pejabat lainnya, dikecualikan sebagai subjek pajak di tempat
mereka mewakili negaranya.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Ayat (1)
Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari
manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis.
Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;
- penghasilan dari usaha dan kegiatan;
- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenai tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas yang tidak terbatas pada contoh-contoh dimaksud.
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti
upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar
oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek
Pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan
olahraga dan lain sebagainya.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Yang dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-benda purbakala.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari
nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan,
selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta
tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual
yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan
tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Dalam hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dari harta yang diserahkan dan nilai bukunya merupakan penghasilan.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan merupakan penghasilan bagi pihak yang mengalihkan kecuali harta tersebut dihibahkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. Demikian juga, keuntungan berupa selisih antara harga pasar dan nilai perolehan atau nilai sisa buku atas pengalihan harta berupa bantuan atau sumbangan dan hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan bukan merupakan penghasilan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Dalam hal Wajib Pajak pemilik hak penambangan mengalihkan sebagian atau seluruh hak tersebut kepada Wajib Pajak lain, keuntungan yang diperoleh merupakan objek pajak.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Termasuk dalam pengertian dividen adalah:
1) | pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun; |
2) | pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor; |
3) | pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham; |
4) | pembagian laba dalam bentuk saham; |
5) | pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran; |
6) | jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan; |
7) | pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah; |
8) | pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut; |
9) | bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi; |
10) | bagian laba yang diterima oleh pemegang polis; |
11) | pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi; |
12) | pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. |
Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.
Huruf h
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara
atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak,
sebagai imbalan atas:
- penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
- penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
- pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
- pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada
angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka
3, berupa:
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
- penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
- pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh
dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta
gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa
rumah, dan sewa gudang.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau
tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu
tertentu.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai
penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang
berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan
Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil
misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha
Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat
sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu
dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 merupakan penghasilan.
Huruf n
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan
baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang
belum dikenakan pajak.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.
Huruf q
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda
dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah
tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan-penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan antara lain:
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajaknya.
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
- | perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat; |
- | kesederhanaan dalam pemungutan pajak; |
- | berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; |
- | pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan |
- | memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, |
Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini termasuk surat utang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan, seperti Medium Term Note, Floating Rate Note yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Surat Utang Negara yang dimaksud pada ayat ini meliputi Obligasi Negara dan Surat Perbendaharaan Negara.
Ayat (3)
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek
pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan
usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat yang diterima oleh badan amil
zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya
wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan
yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama
seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan
“zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak.
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak apabila diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan pendidikan, atau badan sosial termasuk yayasan atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena
harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal,
maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan
merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan
dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk
kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan
bukan merupakan objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut
bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit),
imbalan dalam
bentuk natura atau kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi yang
menerima atau memperolehnya.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Misalnya, seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan diplomatik asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah yang disewa oleh perwakilan diplomatik tersebut atau kenikmatan-kenikmatan lainnya. Kenikmatan-kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut sebab perwakilan diplomatik yang bersangkutan bukan merupakan Wajib Pajak.
Huruf e
Penggantian atau santunan
yang diterima
oleh orang pribadi dari
perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa, bukan merupakan Objek Pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar
oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh
dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba
setelah dikurangi pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan badan usaha milik negara atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan
sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen), tidak termasuk objek
pajak. Yang dimaksud dengan “badan usaha milik
negara” dan
“badan usaha milik daerah” pada ayat ini, antara
lain,
adalah perusahaan perseroan (Persero), bank pemerintah, dan bank
pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajak selain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negeri maupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai Objek Pajak berdasarkan ketentuan ini hanya
berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan
dari Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah iuran
yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang
ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana
pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan
dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas
iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh
karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai Objek Pajak.
Huruf h
Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai Objek Pajak
berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang
pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari Objek Pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari
modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk
pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali
kepada
peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut
perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau
yang berisiko tinggi. Oleh karena itu penentuan bidang-bidang tertentu
dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Huruf i
Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut
dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai
pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh
karena itu, bagian laba yang diterima oleh para anggota badan tersebut
bukan lagi merupakan objek pajak.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura”
adalah
suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai
pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu
tertentu.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f, dividen yang diterima atau
diperoleh perusahaan modal ventura bukan merupakan objek pajak.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor nonmigas, usaha atau kegiatan dari perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.
Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal, penyertaan modal yang akan dilakukan oleh perusahaan modal ventura diarahkan pada perusahaan-perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu
memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak
atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih
tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan
sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat)
tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf n
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang
diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak
mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi
dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa
manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah dan sebagainya, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari
yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh
dibebankan sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
a. | penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf h | Rp100.000.000,00 |
b. | penghasilan bruto lainnya sebesar | Rp300.000.000,00 (+) |
Jumlah penghasilan bruto | Rp400.000.000,00 |
Apabila seluruh biaya
adalah sebesar Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 =
Rp150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, misalnya pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham, pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaransehubungan dengan pekerjaan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang. Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan, misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan. Namun, pengeluaran dalam bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.
Pengeluaran-pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Dengan demikian, apabila pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Selanjutnya lihat ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 beserta penjelasannya.
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Mengenai pengeluaran untuk promosi perlu dibedakan antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Besarnya biaya promosi dan penjualan yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf b
Pengeluaran-pengeluaran
untuk
memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat
ketentuan Pasal 9
ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat dilakukan melalui alokasi.
Huruf c
Iuran kepada dana pensiun
yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan
sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf d
Kerugian karena penjualan
atau
pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk
dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi
kurs mata
uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan
yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya penelitian dan
pengembangan
perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk
menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Huruf g
Biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan
beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas
sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan
memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan
sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa,
dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata
tidak dapat
ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah
mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah
melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tata cara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika
pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan
dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5
(lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah
tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh :
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 | (Rp1.200.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2010 | Rp 200.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 | (Rp1.000.000.000,00) |
Rugi fiskal tahun 2011 | (Rp 300.000.000,00) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 | (Rp1.000.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2012 | Rp N I H I L (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 | (Rp1.000.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2013 | Rp 100.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 | (Rp 900.000.000,00) |
Laba fiskal tahun 2014 | Rp 800.000.000,00 (+) |
Sisa rugi fiskal tahun 2009 | (Rp 100.000.000,00) |
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Ayat (3)
Dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Angka 6
Pasal 7
Ayat (1)
Ayat (2)
Untuk menghitung besarnya
Penghasilan
Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan
netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di
samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak.
Contoh:
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tanggungan 4 (empat) orang anak. Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp 21.120.000,00 {Rp15.840.000,00 + Rp1.320.000,00 + (3 x Rp1.320.000,00)}, sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15.840.000,00. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A adalah sebesar Rp36.960.000,00 (Rp21.120.000,00 + Rp15.840.000,00).
Ayat (2)
Penghitungan besarnya
Penghasilan Tidak
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut
keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak.
Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Ayat (3)Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2009 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan
moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
Angka 7
Pasal 8
Sistem pengenaan pajak
berdasarkan
Undang-Undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis,
artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga
digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian
bagi wanita
yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun
pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya dan dikenai
pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan
dalam hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai
yang telah dipotong pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa:
- penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja, dan
- penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh:
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah). Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp70.000.000,00 (tujuh puluh juta rupiah) tidak digabung dengan penghasilan A dan pengenaan pajak atas penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah), seluruh penghasilan isteri sebesar Rp150.000.000,00 (Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00) digabungkan dengan penghasilan A.
Dengan penggabungan tersebut, A dikenai pajak atas penghasilan neto sebesar Rp250.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp70.000.000,00 + Rp80.000.000,00). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat final, artinya dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (2) dan ayat (3)
Dalam hal suami-isteri
telah hidup
berpisah berdasarkan keputusan hakim, penghitungan Penghasilan Kena
Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Apabila suami
isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara
tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, penghitungan pajaknya dilakukan
berdasarkan penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing
memikul beban pajak sebanding dengan besarnya penghasilan neto.
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
Contoh:
Penghitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri adalah sebagai berikut.
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan, pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Misalnya, pajak yang terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp27.550.000,00 (dua puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah) maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya dihitung sebagai berikut:
- | Suami:
100.000.000,00
x Rp27.550.000,00 250.000.000,00 |
= Rp11.020.000,00 |
- | Isteri
: 150.000.000,00
x Rp27.550.000,00 250.000.000,00 |
= Rp16.530.000,00 |
Penghasilan anak yang
belum dewasa dari
mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung
dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya telah berpisah, menerima atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan sebenarnya.
Angka 8
Pasal 9
Ayat (1)
Pengeluaran-pengeluaran
yang dilakukan
Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang
tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a
Pembagian laba dengan nama
dan dalam
bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal,
pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran
dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian
laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang
akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Huruf b
Tidak dapat dikurangkan
dari
penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau
dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan,
biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan
pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Premi untuk asuransi
kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea
siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi
dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan Objek Pajak.
Apabila premi asuransi
tersebut
dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja
pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai
yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah
diuraikan dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak.
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
Selaras dengan hal tersebut, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan berikut ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang menerimanya:
- penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil;
- pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya; dan
- pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
Huruf f
Dalam hubungan pekerjaan,
kemungkinan
dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang
juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai
dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi
kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Misalnya, seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksudkan dengan
Pajak
Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang
oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan
pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan
penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena
itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
Huruf j
Anggota firma, persekutuan
dan
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham
diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai
gaji.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sesuai dengan kelaziman
usaha,
pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa
tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya
pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Sejalan dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Angka 9
Pasal 11
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengeluaran untuk
memperoleh harta
berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus
dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa
manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran
untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh
disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam
perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat
nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh
penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.
Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Metode penyusutan yang
dibolehkan berdasarkan ketentuan ini dilakukan:
- dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight-line method); atau
- dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining balance method).
Penggunaan metode
penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Untuk harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.
Contoh penggunaan metode garis lurus:
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp50.000.000,00 (Rp1.000.000.000,00 : 20).
Contoh penggunaan metode saldo menurun:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun | Tarif | Penyusutan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 150.000.000,00 | |||
2009 | 50% |
75.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010 | 50% |
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011 | 50% |
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012 | Disusutkan sekaligus |
18.750.000,00
|
0
|
Ayat (3)
Penyusutan dimulai pada
bulan
dilakukannya pengeluaran atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu
harta sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Contoh 1:
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2010. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2010.
Contoh 2:
Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Kalau tarif penyusutan misalnya ditetapkan 50% (lima puluh persen), maka penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.
Tahun | Tarif | Penyusutan | Nilai Sisa Buku |
Harga Perolehan 100.000.000,00 | |||
2009 | 6/12 x 50% |
25.000.000,00
|
75.000.000,00
|
2010 | 50% |
37.500.000,00
|
37.500.000,00
|
2011 | 50% |
18.750.000,00
|
18.750.000,00
|
2012 | 50% |
9.375.000,00
|
9.375.000,00
|
2013 | Disusutkan sekaligus |
9.375.000,00
|
0
|
Berdasarkan persetujuan
Direktur
Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan
harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat
mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai
berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya
penghasilan.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010.
Contoh:
PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010.
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk memberikan kepastian
hukum bagi
Wajib Pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud,
ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan
baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Yang dimaksud dengan “bangunan tidak permanen” adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Ayat (7)
Dalam rangka menyesuaikan
dengan
karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman
keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri
untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang-bidang
usaha tertentu tersebut yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (8) dan ayat (9)
Ayat (10)
Ayat (11)
Pada dasarnya keuntungan
atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun
dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Apabila harta tersebut dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Ayat (10)
Menyimpang dari ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian
oleh pihak yang mengalihkan.
Ayat (11)
Dalam rangka memberikan
keseragaman
kepada Wajib Pajak untuk melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi
wewenang menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap
kelompok dan masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak.
Angka 10
Pasal 11A
Ayat (1)
Harga perolehan harta tak
berwujud dan
pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak
guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill)
yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
- dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat; atau
- dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku.
Khusus untuk amortisasi
harta tak
berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-hak tersebut diamortisasi
sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama
dihitung secara prorata.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Penentuan masa manfaat dan
tarif
amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk
memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari tiap harta tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Metode satuan produksi
dilakukan dengan
menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan
gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh
kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah
produksi yang
sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat
sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas
sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
Ayat (5)
Pengeluaran untuk
memperoleh hak
penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak
pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi
dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.
Contoh:
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 (sepuluh juta) ton kayu, sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam 1 (satu) tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 (tiga juta) ton yang berarti 30% (tiga puluh persen) dari potensi yang tersedia, walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30% (tiga puluh persen) dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut adalah 20% (dua puluh persen) dari pengeluaran atau Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Ayat (6)
Ayat (7)
Dalam pengertian
pengeluaran yang
dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan
dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening
listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran
operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan
sekaligus pada tahun pengeluaran.
Ayat (7)
Contoh:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Harga perolehan | Rp 500.000.000,00 |
Amortisasi yang telah dilakukan: | |
100.000.000/200.000.000 barel (50%) | Rp 250.000.000,00 |
Nilai buku harta | Rp 250.000.000,00 |
Harga jual harta | Rp 300.000.000,00 |
Dengan demikian jumlah
nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00
dibukukan sebagai penghasilan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 14
Informasi yang benar dan
lengkap
tentang penghasilan Wajib Pajak sangat penting untuk dapat mengenakan
pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak.
Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus
menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib
Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah
pedoman untuk
menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma
Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
- tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
- pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma Penghitungan
disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain,
dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Ayat (2)
Norma Penghitungan
Penghasilan Neto
hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang dari
jumlah Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut,
Wajib Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Wajib Pajak orang pribadi
yang
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut wajib
menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak orang
pribadi yang
berhak bermaksud untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Ayat (5)
Wajib Pajak yang wajib
menyelenggarakan
pembukuan, wajib menyelenggarakan pencatatan, atau dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
- tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan; atau
- tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan
sehingga mengakibatkan
peredaran bruto
dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran
bruto Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.
Ayat (6)
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Menteri Keuangan dapat
menyesuaikan
besarnya batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dengan memerhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib
Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Angka 12
Pasal 16
Penghasilan Kena Pajak
merupakan dasar
penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang.
Dalam Undang-Undang ini dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib
Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak dalam
negeri pada
dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena
Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan
menggunakan Norma Penghitungan.
Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
Di samping itu terdapat cara penghitungan dengan mempergunakan Norma Penghitungan Khusus, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara:
- Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia; dan
- Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ayat (1)
Bagi Wajib Pajak dalam
negeri yang
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan
menggunakan cara penghitungan biasa dengan contoh sebagai berikut.
- | Peredaran bruto | Rp6.000.000.000,00 | |
- | Biaya
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan |
Rp5.400.000.000,00(-) |
|
- | Laba usaha (penghasilan neto usaha) | Rp 600.000.000,00 | |
- | Penghasilan lainnya | Rp50.000.000,00 | |
- | Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya tersebut | Rp30.000.000,00(-) |
|
Rp 20.000.000,00(+) | |||
- | Jumlah seluruh penghasilan neto | Rp 620.000.000,00 | |
- | Kompensasi kerugian | Rp 10.000.000,00(-) | |
- | Penghasilan
Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan) |
Rp 610.000.000,00 |
|
- | Pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak) | Rp 19.800.000,00(-) |
|
- | Penghasilan Kena Pajak | ||
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) | Rp 590.200. 000,00 |
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang
berhak untuk tidak menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto dengan contoh sebagai berikut.
- | Peredaran bruto | Rp 4.000.000.000,00 |
- | Penghasilan
neto (menurut Norma Penghitungan) misalnya 20% |
Rp 800.000.000,00 |
- | Penghasilan neto lainnya | Rp 5.000.000,00 (+) |
- | Jumlah seluruh penghasilan neto | Rp 805.000.000,00 |
- | Penghasilan
Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) |
Rp 21.120.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 783.880.000,00 |
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar
negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya pada
dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap
berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena
Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh:
Contoh:
- | Peredaran bruto | Rp10.000.000.000,00 | |
- | Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan | Rp 8.000.000.000,00(-) |
|
Rp 2.000.000.000,00 | |||
- | Penghasilan bunga | Rp 50.000.000,00 | |
- | Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang yang dijual bentuk usaha tetap oleh kantor pusat | Rp 2.000.000.000,00 |
|
- | Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan | Rp1.500.000.000,00(-) |
|
Rp 500.000.000,00 | |||
Dividen yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap | Rp1.000.000.000,00(+) |
||
Rp3.550.000.000,00 | |||
- | Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) | Rp 450.000.000,00(-) | |
- | Penghasilan Kena Pajak | Rp3.100.000.000,00 |
Ayat (4)
Contoh:
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah sebagai berikut.
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan | Rp 150.000.000,00 |
Penghasilan setahun sebesar: | |
(360 : (3x30)) x Rp150.000.000,00 | Rp 600.000.000,00 |
Penghasilan Tidak Kena Pajak | Rp 15.840.000,00(-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 584.160.000,00 |
Angka 13
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penghitungan pajak
yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 600.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
5% x Rp50.000.000,00 | = Rp 2.500.000,00 |
15% x Rp200.000.000,00 | = Rp 30.000.000,00 |
25% x Rp250.000.000,00 | = Rp 62.500.000,00 |
30% x Rp100.000.000,00 | = Rp 30.000.000,00 (+) |
Rp125.000.000,00 |
Huruf b
Contoh penghitungan pajak
yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha
tetap:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp1.250.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp1.250.000.000,00 = Rp350.000.000,00
Ayat (2)
Perubahan tarif
sebagaimana dimaksud
pada ayat ini akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari,
diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu
berlaku efektif, serta dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dalam rangka
penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (2d)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Besarnya lapisan
Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan
dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp 5.050.000,00.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00
Pajak Penghasilan setahun:
5% x Rp 50.000.000,00 | = Rp 2.500.000,00 |
15% x Rp 200.000.000,00 | = Rp 30.000.000,00 |
25% x Rp 250.000.000,00 | = Rp 62.500.000,00 |
30% x Rp 84.160.000,00 | = Rp 25.248.000,00 (+) |
Rp 120.248.000,00 |
Pajak Penghasilan yang
terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00
Ayat (7)
Ketentuan pada ayat ini
memberi
wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang
dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari
tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan
tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan
kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 14
Pasal 18
Ayat (1)
Ayat (2)
Undang-Undang ini memberi
wewenang
kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya
perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan
untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat
perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal (debt to
equity ratio). Apabila perbandingan antara
utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada
umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal
demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini
menentukan adanya modal terselubung.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan “kewajaran atau kelaziman usaha” adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Ayat (2)
Dengan makin berkembangnya
ekonomi dan
perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi
bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri.
Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman
modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat
diperolehnya dividen.
Contoh:
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya.
Ayat (3)
Maksud diadakannya
ketentuan ini adalah
untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena
adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa,
kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya
ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal
demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di
antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa.
Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut
digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen
(comparable uncontrolled
price method), metode harga penjualan kembali
(resale price method),
metode biaya-plus (cost-plus
method), atau
metode lainnya seperti metode pembagian laba (profit split method)
dan
metode laba bersih transaksional (transactional
net margin method).
Demikian pula kemungkinan
terdapat
penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal
tersebut sebagai utang maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut
dapat dilakukan, misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara
modal dan utang yang lazim terjadi di antara para pihak yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi
lainnya.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Dengan demikian, bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperoleh bunga tersebut dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak.
Ayat (3a)
Ayat (3b)
Ayat (3c)
Ayat (3d)
Ayat (3e)
Ayat (4)
Huruf b
Huruf c
Ayat (5)
Kesepakatan harga transfer
(Advance
Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib
Pajak dan
Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
(related parties)
dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk
mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing
oleh
perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur
Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga
jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain,
tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan
kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu
melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual
Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat
unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak
dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal
Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib
Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Ayat (3b)
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk
mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian
saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui
perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut
(special purpose company).
Ayat (3c)
Contoh:
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
X Ltd. yang didirikan dan berkedudukan di negara A, sebuah negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country), memiliki 95% (sembilan puluh lima persen) saham PT X yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia. X Ltd. ini adalah suatu perusahaan antara (conduit company) yang didirikan dan dimiliki sepenuhnya oleh Y Co., sebuah perusahaan di negara B, dengan tujuan sebagai perusahaan antara dalam kepemilikannya atas mayoritas saham PT X.
Apabila Y Co. menjual seluruh kepemilikannya atas saham X Ltd. kepada PT Z yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri, secara legal formal transaksi di atas merupakan pengalihan saham perusahaan luar negeri oleh Wajib Pajak luar negeri.
Namun, pada hakikatnya transaksi ini merupakan pengalihan kepemilikan (saham) perseroan Wajib Pajak dalam negeri oleh Wajib Pajak luar negeri sehingga atas penghasilan dari pengalihan ini terutang Pajak Penghasilan.
Ayat (3d)
Cukup jelas.
Ayat (3e)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak
dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan:
- kepemilikan atau penyertaan modal; atau
- adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal
tersebut,
hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula
terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Huruf a
Hubungan istimewa dianggap
ada apabila
terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak
langsung.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.
Huruf b
Hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak
dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan
“hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat”
adalah
ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah
dalam
garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 19
Ayat (1)
Ayat (2)
Adanya perkembangan harga
yang mencolok
atau perubahan kebijakan di bidang moneter dapat menyebabkan
kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan
timbulnya beban pajak yang kurang wajar.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 21
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur
tentang
pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. Pihak
yang wajib melakukan pemotongan pajak adalah pemberi kerja, bendahara
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan.
Huruf a
Pemberi kerja yang wajib
melakukan
pemotongan pajak adalah orang pribadi ataupun badan yang merupakan
induk, cabang, perwakilan, atau unit perusahaan yang membayar atau
terutang gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain dengan
nama apa pun kepada pengurus, pegawai atau bukan pegawai sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang
dilakukan. Dalam pengertian pemberi kerja termasuk juga organisasi
internasional yang tidak dikecualikan dari kewajiban memotong pajak.
Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Yang dimaksud dengan “pembayaran lain” adalah pembayaran dengan nama apa pun selain gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan pembayaran lain, seperti bonus, gratifikasi, dan tantiem.
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan kerja tidak tetap, misalnya artis yang menerima atau memperoleh honorarium dari pemberi kerja.
Huruf b
Bendahara pemerintah
termasuk bendahara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia
di luar negeri yang membayar gaji, upah, tunjangan, honorarium, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Yang termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.
Huruf c
Yang termasuk
“badan lain”,
misalnya, adalah badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang
membayarkan uang pensiun, tunjangan hari tua, tabungan hari tua, dan
pembayaran lain yang sejenis dengan nama apa pun.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima tabungan hari tua.
Yang termasuk dalam pengertian uang pensiun atau pembayaran lain adalah tunjangan-tunjangan baik yang dibayarkan secara berkala ataupun tidak yang dibayarkan kepada penerima pensiun, penerima tunjangan hari tua, dan penerima tabungan hari tua.
Huruf d
Yang termasuk dalam
pengertian badan adalah organisasi internasional yang tidak
dikecualikan berdasarkan ayat (2).
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Yang termasuk tenaga ahli orang pribadi, misalnya, adalah dokter, pengacara, dan akuntan, yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
Huruf e
Penyelenggara kegiatan
wajib memotong
pajak atas pembayaran hadiah atau penghargaan dalam bentuk apa pun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
berkenaan dengan suatu kegiatan. Dalam pengertian penyelenggara
kegiatan termasuk antara lain badan, badan pemerintah, organisasi
termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan. Kegiatan yang
diselenggarakan, misalnya kegiatan olahraga, keagamaan, dan kesenian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi pegawai tetap
besarnya penghasilan
yang dipotong pajak adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
jabatan, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam
pengertian iuran pensiun termasuk juga iuran tunjangan hari tua atau
tabungan hari tua yang dibayar oleh pegawai.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Bagi pensiunan besarnya penghasilan yang dipotong pajak adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dalam pengertian pensiunan termasuk juga penerima tunjangan hari tua atau tabungan hari tua.
Ayat (4)
Besarnya penghasilan yang
dipotong
pajak bagi pegawai harian, mingguan, serta pegawai tidak tetap lainnya
adalah jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan bagian penghasilan
yang tidak dikenai pemotongan yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan, dengan memerhatikan Penghasilan Tidak Kena Pajak yang
berlaku.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain,
dengan cara menunjukkan kartu NPWP.
Contoh:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 75.000.000,00
Pajak Penghasilan yang harus dipotong bagi Wajib Pajak yang memiliki NPWP adalah:
5% x Rp50.000.000,00 | = Rp2.500.000,00 |
15% x Rp25.000.000,00 | = Rp3.750.000,00 (+) |
Jumlah | Rp6.250.000,00 |
Pajak Penghasilan yang
harus dipotong jika Wajib Pajak tidak memiliki NPWP adalah:
5% x 120% x Rp50.000.000,00 | = Rp3.000.000,00 |
15% x 120% x Rp25.000.000,00 | = Rp4.500.000,00 (+) |
Jumlah | Rp7.500.000,00 |
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 22
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan ini, yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah:
- | bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama; |
- | badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen; dan |
- | Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah. |
Dalam pelaksanaan
ketentuan ini Menteri Keuangan mempertimbangkan, antara lain:
- | penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien; |
- | tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan |
- | prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. |
Pemungutan pajak
berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui
sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Sehubungan dengan hal tersebut,
pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dapat bersifat final.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Angka 18
Pasal 23
Ayat (1)
Ayat (1a)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Kepemilikan Nomor Pokok
Wajib Pajak
dapat dibuktikan oleh Wajib Pajak, antara lain, dengan cara menunjukkan
kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 24
Pada dasarnya Wajib Pajak
dalam negeri
terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak
ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang
perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
Ayat (1)
Pajak atas penghasilan
yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang di Indonesia hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Contoh:
PT A di Indonesia merupakan pemegang saham tunggal dari Z Inc. di Negara X. Z Inc. tersebut dalam tahun 1995 memperoleh keuntungan sebesar US$100,000.00. Pajak Penghasilan yang berlaku di negara X adalah 48% dan Pajak Dividen adalah 38%.
Penghitungan pajak atas dividen tersebut adalah sebagai berikut:
Keuntungan Z Inc | US$ 100,000.00 |
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) | |
atas Z Inc.: (48%) | US$ 48,000.00 (-) |
US$ 52,000.00 | |
Pajak atas dividen (38%) | US$ 19,760.00 (-) |
Dividen yang dikirim ke Indonesia | US$ 32,240.00 |
Pajak Penghasilan yang
dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak
Penghasilan yang terutang atas PT A adalah pajak yang langsung
dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri,
dalam contoh di atas yaitu jumlah sebesar US$19,760.00.
Pajak Penghasilan (Corporate income tax) atas Z Inc. sebesar US$48,000.00 tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT A, karena pajak sebesar US$48,000.00 tersebut tidak dikenakan langsung atas penghasilan yang diterima atau diperoleh PT A dari luar negeri, melainkan pajak yang dikenakan atas keuntungan Z Inc. di negara X.
Ayat (2)
Untuk memberikan perlakuan
pemajakan
yang sama antara penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar
negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia, maka
besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak
boleh melebihi besarnya pajak yang dihitung berdasarkan Undang-undang
ini. Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang sebagaimana diatur pada ayat
(6).
Ayat (3) dan (4)
Dalam perhitungan kredit
pajak atas
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang menurut Undang-Undang ini,
penentuan sumber penghasilan menjadi sangat penting.
Selanjutnya, ketentuan ini
mengatur
tentang penentuan sumber penghasilan untuk memperhitungkan kredit pajak
luar negeri tersebut.
Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Mengingat Undang-Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas, maka sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) penentuan sumber dari penghasilan selain yang tersebut pada ayat (3) dipergunakan prinsip yang sama dengan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut, misalnya A sebagai Wajib Pajak dalam negeri memiliki sebuah rumah di Singapura dan dalam tahun 1995 rumah tersebut dijual.
Keuntungan yang diperoleh
dari
penjualan rumah tersebut merupakan penghasilan yang bersumber di
Singapura karena rumah tersebut terletak di Singapura.
Ayat (5)
Apabila terjadi
pengurangan atau
pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di luar negeri,
sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi
lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-undang
ini. Misalnya, dalam tahun 1996, Wajib Pajak mendapat pengurangan pajak
atas penghasilan luar negeri tahun pajak 1995 sebesar Rp5.000.000,00
yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan terhadap
pajak yang terutang untuk tahun pajak 1995, maka jumlah sebesar
Rp5.000.000,00 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang
terutang dalam tahun pajak 1996.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 25
Ketentuan ini mengatur
tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib
Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1)
Contoh 1:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun 2009 dikurangi: |
Rp 50.000.000,00 | |
a. | Pajak
Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja (Pasal 21) |
Rp15.000.000,00 |
b. | Pajak
Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) |
Rp10.000.000,00 |
c. | Pajak
Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) |
Rp 2.500.000,00 |
d. | Kredit
Pajak Penghasilan luar negeri (Pasal 24) |
Rp 7.500.000,00 (+) |
Jumlah kredit pajak | Rp35.000.000,00 (-) | |
Selisih | Rp15.000.000,00 |
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp1.250.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 12).
Contoh 2:
Apabila Pajak Penghasilan
sebagaimana
dimaksud dalam contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6
(enam) bulan dalam tahun 2009, besarnya angsuran bulanan yang harus
dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar
Rp2.500.000,00 (Rp15.000.000,00 dibagi 6).
Ayat (2)
Mengingat batas waktu
penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi
adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi Wajib Pajak
badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Februari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2009, misalnya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan Desember 2009, yaitu nihil.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila dalam tahun
berjalan
diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, angsuran
pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut. Perubahan
angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Contoh:
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2009 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp1.250.000,00 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pada dasarnya besarnya
pembayaran
angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat
mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir
tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal
tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan wewenang untuk menyesuaikan
perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat kompensasi kerugian;
Wajib Pajak menerima atau memperoleh penghasilan tidak teratur; atau
terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1:
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Contoh 1:
- | Penghasilan PT X tahun 2009 | Rp 120.000.000,00 |
- | Sisa
kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan |
Rp 150.000.000,00 |
- | Sisa
kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2009 |
Rp 30.000.000,00 |
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah:
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 = Rp120.000.000,00 – Rp30.000.000,00 = Rp90.000.000,00.
Pajak Penghasilan yang terutang:
28% x Rp90.000.000,00 = Rp25.200.000,00
Apabila pada tahun 2009 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun 2010 = 1/12 x Rp25.200.000,00= Rp2.100.000,00.
Contoh 2:
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah hanya dari penghasilan teratur tersebut.
Contoh 3:
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT B terbakar. Oleh karena itu, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT B dapat disesuaikan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Pada prinsipnya
penghitungan besarnya
angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun,
ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk
menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain
berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena
didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang
mulai
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan
perlu diatur perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum
pernah memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
Huruf b
Bagi Wajib Pajak yang
bergerak dalam
bidang perbankan, badan usaha milik negara dan badan usaha milik
daerah, serta Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang
berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu
diatur perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat
kewajiban menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah yang
dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan besarnya
angsuran pajak dalam tahun berjalan.
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang
pribadi
pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1
(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya angsuran pajak paling tinggi
sebesar 0,75% (nol koma tujuh lima persen) dari peredaran bruto.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8a)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 26
Atas penghasilan yang
diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini
menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban
perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan
pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri
lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak
berdasarkan ketentuan
ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
- penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
- imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
- hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
- pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
- premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
- keuntungan karena pembebasan utang.
Sesuai dengan ketentuan
ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam
negeri membayarkan royalti sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri
tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua
puluh persen) dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib
Pajak luar
negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari
Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari
penghasilan tersebut (beneficial
owner). Oleh karena itu, negara
domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili,
tetapi juga tempat tinggal atau tempat kedudukan dari penerima manfaat
dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur
tentang
pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan
atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi.
Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen)
dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan
diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto
dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak
tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2).
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena
Pajak sesudah
dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak
sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Contoh:
Penghasilan
Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2009 |
Rp17.500.000.000,00 |
Pajak
Penghasilan: 28% x Rp17.500.000.000,00 |
= Rp 4.900.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak | Rp12.600.000.000,00 |
Pajak Penghasilan Pasal 26
yang terutang
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
20% x Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 (dua belas miliar enam ratus juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan
pajak atas
Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan
atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang
berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak
tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009. Pada tanggal 20 April 2009 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2009.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2009 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B.
Berdasarkan ketentuan ini, maka untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2009, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret tersebut, dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Angka 22
Pasal 29
Ketentuan ini mewajibkan
Wajib Pajak
untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut
ketentuan Undang-Undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan dan paling lambat pada batas akhir penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan. Apabila tahun buku sama dengan tahun
kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi paling lambat
tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April bagi
Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun
buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli
sampai dengan 30 Juni, kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat
tanggal 30 September bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 31 Oktober
bagi Wajib Pajak badan.
Angka 23
Pasal 31A
Ayat (1)
Ayat (2)
Salah satu prinsip yang
perlu dipegang
teguh di dalam Undang- Undang perpajakan adalah diterapkannya perlakuan
yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah
di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang
dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 31C
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 31D
Cukup jelas.
Pasal 31E
Ayat (1)
Contoh 1:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh 2:
Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
- Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 = Rp480.000.000,00 - Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- | (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 | = Rp 67.200.000,00 |
- | 28% x Rp2.520.000.000,00 | = Rp705.600.000,00(+) |
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang | Rp 772.800.000,00 |
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 32B
Dalam rangka memperluas
pasar Obligasi
Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau
membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di
bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus
ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama
atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
Angka 29
Pasal 35
Dengan peraturan
pemerintah diatur
lebih lanjut hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan
Undang-Undang ini, yaitu semua peraturan yang diperlukan agar
Undang-Undang ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk
pula peraturan peralihan.
Pasal II
Angka 1
Apabila Wajib Pajak
menggunakan tahun
buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2001 atau sebelumnya (tidak sama
dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2000.
Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2001 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2001 berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun
2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.
Angka 2
Apabila Wajib Pajak
menggunakan tahun
buku yang berakhir tanggal 30 Juni 2009 atau sebelumnya (tidak sama
dengan tahun kalender), tahun buku tersebut adalah tahun pajak 2008.
Pajak yang terutang dalam tahun tersebut tetap dihitung berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,
sedangkan Wajib Pajak yang tahun bukunya berakhir setelah tanggal 30
Juni 2009 wajib menghitung pajaknya mulai tahun pajak 2009 berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
0 komentar:
Posting Komentar